Selasa, 24 Juni 2025

Mengupas Tuntas Hikmah di Balik Tahun Baru Islam: Tinjauan dari Aspek Pedagogis

    

Mengupas Tuntas Hikmah di Balik Tahun Baru Islam: Tinjauan dari Aspek Pedagogis
oleh: Fuad Munawar

Tahun Baru Islam atau 1 Muharram merupakan momentum penting dalam kalender Hijriah yang menandai awal perjalanan umat Islam dalam penanggalan syar’i, yaitu sistem penanggalan yang berdasarkan peredaran bulan sebagaimana ditetapkan sejak masa Khalifah Umar bin Khattab. Momen ini bukan hanya sebatas pergantian tanggal atau angka dalam kalender, melainkan memiliki akar sejarah yang kuat, yakni peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Hijrah tersebut bukan hanya peristiwa fisik, melainkan juga simbol perubahan sosial, spiritual, dan intelektual yang membawa umat Islam dari kondisi penindasan menuju era pembangunan masyarakat madani yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Berbeda dengan tahun baru masehi yang umumnya dirayakan dengan pesta kembang api, hura-hura, dan hiburan duniawi, tahun baru Islam justru mengajak umat untuk merenung, melakukan introspeksi diri, dan memperbarui komitmen spiritual kepada Allah SWT.

Makna 1 Muharram sangat reflektif, mengandung pesan spiritual mendalam yang mendorong umat untuk menata kembali orientasi hidup, mengevaluasi amal perbuatan di masa lalu, dan bertekad untuk memperbaiki diri di masa depan. Nilai-nilai ini sangat relevan dengan tujuan pendidikan Islam yang menekankan pada tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), ta’dib (pendidikan moral), dan tarbiyah (pembinaan holistik). Dalam konteks pedagogis, peringatan tahun baru Islam dapat dimanfaatkan sebagai momen strategis untuk menanamkan nilai-nilai edukatif seperti kejujuran, tanggung jawab, keberanian dalam menghadapi perubahan, serta semangat untuk memperbaiki diri dan masyarakat.[1] Hal ini sangat penting, terutama dalam pendidikan karakter dan keagamaan di tengah tantangan globalisasi yang cenderung mengikis nilai-nilai spiritual dan moral. Oleh karena itu, pengintegrasian makna 1 Muharram dalam proses pembelajaran menjadi kebutuhan mendesak yang tidak hanya relevan secara historis dan teologis, tetapi juga pedagogis dan sosiokultural.

Makna Sejarah 1 Muharram

Tanggal 1 Muharram menandai peristiwa monumental dalam sejarah Islam, yaitu hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Peristiwa hijrah ini bukan sekadar perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain, melainkan menjadi titik balik dalam sejarah umat Islam yang menandai dimulainya babak baru dalam pembentukan masyarakat Islam yang berperadaban. Hijrah merupakan simbol revolusi nilai dan transformasi sosial, yang membawa perubahan dari kehidupan yang sarat penindasan, kekerasan, dan keterbelakangan menuju kehidupan yang menjunjung tinggi keadilan, persaudaraan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Di Madinah, Rasulullah SAW tidak hanya membangun masjid sebagai pusat ibadah, tetapi juga meletakkan dasar-dasar konstitusi Madinah, yang menjadi tonggak awal sistem pemerintahan Islam berbasis nilai-nilai syura (musyawarah), toleransi antar umat beragama, dan keadilan sosial.

Lebih jauh, hijrah menjadi manifestasi dari perjuangan ideologis dan spiritual seorang pemimpin yang ingin mentransformasikan masyarakat dari kondisi jahiliyah menuju peradaban yang berlandaskan wahyu Ilahi. Revolusi nilai yang dibawa melalui hijrah mencerminkan keberanian untuk melepaskan kenyamanan lama, mengorbankan kepentingan pribadi demi misi kemanusiaan yang lebih besar, serta komitmen terhadap perubahan jangka panjang yang berlandaskan nilai-nilai tauhid dan akhlakul karimah.[2] Oleh sebab itu, peristiwa hijrah bukan hanya relevan secara historis, tetapi juga memiliki makna edukatif yang dapat dijadikan sebagai landasan pembentukan karakter generasi masa kini. Dalam konteks pedagogis, hijrah mengajarkan pentingnya visi jangka panjang dalam membangun masyarakat, kesadaran kritis terhadap kondisi sosial, serta keberanian untuk melakukan transformasi menuju kondisi yang lebih baik secara berkelanjutan. Dalam perspektif sejarah, hijrah adalah simbol dari transformasi sosial, spiritual, dan intelektual yang mengubah wajah umat Islam secara keseluruhan.[3] Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah menyebutkan bahwa hijrah menjadi titik balik bagi umat Islam dalam membangun masyarakat yang berlandaskan tauhid, keadilan, dan ukhuwah.

Aspek Pedagogis dalam Tahun Baru Islam

1. Nilai Transformasi Diri

          Dalam pedagogi Islam, pendidikan tidak hanya sebatas transfer ilmu, melainkan juga transformasi kepribadian. Tahun baru Islam mengajarkan pentingnya muhasabah (introspeksi) atas perbuatan di tahun sebelumnya dan niat untuk memperbaiki diri ke depan. Hal ini sesuai dengan prinsip dalam ta’dib (pendidikan moral) yang dikemukakan oleh Al-Attas, yaitu bahwa pendidikan adalah proses penyempurnaan manusia baik secara spiritual maupun intelektual. Dalam konteks ini Rasulullah SAW bersabda: 

 

من كان يومه خيرا من امسه فهو رابح. ومن كان يومه مثل امسه فهو مغبون. ومن كان يومه شرا من امسه فهو ملعون

( رواه الحاكم)

 

Artinya: "Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, (dan) barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan bahkan, barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka." (HR Al Hakim).

(dalam al-Mustadrak, hadis ini meskipun sanadnya diperselisihkan, namun maknanya sangat kuat dan sering digunakan dalam konteks motivasi perbaikan diri).

Hadis ini merupakan seruan moral dan spiritual yang sangat kuat untuk selalu melakukan perbaikan diri secara terus-menerus dari hari ke hari. Dalam ajaran Islam, kehidupan seorang mukmin idealnya selalu berada dalam kondisi naik (tarqqī), bukan stagnan (tsubūt), apalagi menurun (inhithāṭ).


2. Menanamkan Keteladanan Nabi

Momentum 1 Muharram sangat strategis untuk mengintegrasikan kisah hijrah Nabi ke dalam pembelajaran sebagai bentuk internalisasi nilai.[4] Keteladanan Nabi dalam menghadapi tekanan, menyusun strategi hijrah, dan membangun masyarakat madani dapat diadaptasi ke dalam model pembelajaran berbasis keteladanan (modeling). Hal ini didukung oleh pandangan Paulo Freire tentang pentingnya pendidikan yang kontekstual dan reflektif terhadap realitas sosial peserta didik.

3. Pendidikan Kontekstual dan Spiritual

Tahun baru Islam menjadi momen yang ideal untuk menghidupkan pendidikan kontekstual berbasis keagamaan, terutama dalam mengembangkan ranah afektif peserta didik. Melalui kegiatan seperti pengajian, lomba keislaman, dan diskusi hikmah hijrah, peserta didik dilatih untuk berpikir kritis dan spiritual sekaligus. Hal ini sejalan dengan pendekatan pedagogi integral yang menggabungkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

4. Pembentukan Karakter Islami

Nilai-nilai yang terkandung dalam hijrah seperti keberanian, kejujuran, tanggung jawab, dan pengorbanan adalah pilar dalam pendidikan karakter Islami.[5] Tahun baru Hijriah dapat menjadi momentum pembelajaran tematik integratif, di mana nilai-nilai ini ditekankan melalui kurikulum lintas mata pelajaran seperti PAI, Bahasa Indonesia (dalam penulisan narasi hijrah), dan IPS (dalam konteks sejarah kebudayaan Islam).

Relevansi dengan Kurikulum Merdeka

Dalam konteks pendidikan Indonesia saat ini, Kurikulum Merdeka mendorong pembelajaran yang berorientasi pada profil Pelajar Pancasila. Nilai-nilai hijrah seperti mandiri, bernalar kritis, dan beriman bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sejalan dengan karakter yang ingin dibentuk melalui kurikulum tersebut. Tahun baru Islam dapat menjadi tema projek penguatan profil pelajar Pancasila (P5) berbasis nilai keislaman yang kontekstual dan transformatif.

 



[1] A Moh Suryadinata, “METODE KHUSUS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM” (Ruang Karya Bersama, 2025).

[2] Galih Ikariyana Puri and Raisa Elva Venera, ARAB HADRAMI NUSANTARA (PENERBIT KBM INDONESIA, 2025).

[3] Busthomi Ibrohim, “Memaknai Momentum Hijrah,” Studia Didaktika: Jurnal Ilmiah Bidang Pendidikan 10, no. 02 (2016): 65–74.

[4] Aminah Bahasoan and Asep Asep, “Penguatan Karakter Insani Dan Ukhuwah Islamiyyah Melalui Peringatan Maulid Nabi Berbasis Rumah Di Desa Larike,” ARDHI: Jurnal Pengabdian Dalam Negri 3, no. 3 (2025): 70–80.

[5] Suryadinata, “METODE KHUSUS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM.”

Related Posts

Posting Komentar