Mengupas Tuntas Hikmah di Balik Tahun Baru Islam: Tinjauan dari Aspek Pedagogis
Tahun Baru Islam atau 1 Muharram
merupakan momentum penting dalam kalender Hijriah yang menandai awal perjalanan
umat Islam dalam penanggalan syar’i, yaitu sistem penanggalan yang berdasarkan
peredaran bulan sebagaimana ditetapkan sejak masa Khalifah Umar bin Khattab.
Momen ini bukan hanya sebatas pergantian tanggal atau angka dalam kalender,
melainkan memiliki akar sejarah yang kuat, yakni peristiwa hijrah Nabi Muhammad
SAW dari Makkah ke Madinah. Hijrah tersebut bukan hanya peristiwa fisik,
melainkan juga simbol perubahan sosial, spiritual, dan intelektual yang membawa
umat Islam dari kondisi penindasan menuju era pembangunan masyarakat madani
yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Berbeda dengan tahun baru masehi yang
umumnya dirayakan dengan pesta kembang api, hura-hura, dan hiburan duniawi,
tahun baru Islam justru mengajak umat untuk merenung, melakukan introspeksi
diri, dan memperbarui komitmen spiritual kepada Allah SWT.
Makna 1 Muharram sangat reflektif,
mengandung pesan spiritual mendalam yang mendorong umat untuk menata kembali
orientasi hidup, mengevaluasi amal perbuatan di masa lalu, dan bertekad untuk
memperbaiki diri di masa depan. Nilai-nilai ini sangat relevan dengan tujuan pendidikan
Islam yang menekankan pada tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), ta’dib
(pendidikan moral), dan tarbiyah (pembinaan holistik). Dalam konteks
pedagogis, peringatan tahun baru Islam dapat dimanfaatkan sebagai momen
strategis untuk menanamkan nilai-nilai edukatif seperti kejujuran, tanggung
jawab, keberanian dalam menghadapi perubahan, serta semangat untuk memperbaiki
diri dan masyarakat.[1]
Hal ini sangat penting, terutama dalam pendidikan karakter dan keagamaan di
tengah tantangan globalisasi yang cenderung mengikis nilai-nilai spiritual dan
moral. Oleh karena itu, pengintegrasian makna 1 Muharram dalam proses
pembelajaran menjadi kebutuhan mendesak yang tidak hanya relevan secara
historis dan teologis, tetapi juga pedagogis dan sosiokultural.
Makna Sejarah 1 Muharram
Tanggal 1 Muharram menandai
peristiwa monumental dalam sejarah Islam, yaitu hijrah Nabi Muhammad SAW dari
Makkah ke Madinah. Peristiwa hijrah ini bukan sekadar perpindahan fisik dari
satu tempat ke tempat lain, melainkan menjadi titik balik dalam sejarah umat
Islam yang menandai dimulainya babak baru dalam pembentukan masyarakat Islam
yang berperadaban. Hijrah merupakan simbol revolusi nilai dan transformasi
sosial, yang membawa perubahan dari kehidupan yang sarat penindasan, kekerasan,
dan keterbelakangan menuju kehidupan yang menjunjung tinggi keadilan,
persaudaraan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Di Madinah,
Rasulullah SAW tidak hanya membangun masjid sebagai pusat ibadah, tetapi juga
meletakkan dasar-dasar konstitusi Madinah, yang menjadi tonggak awal sistem
pemerintahan Islam berbasis nilai-nilai syura (musyawarah), toleransi antar
umat beragama, dan keadilan sosial.
Lebih jauh, hijrah menjadi
manifestasi dari perjuangan ideologis dan spiritual seorang pemimpin yang ingin
mentransformasikan masyarakat dari kondisi jahiliyah menuju peradaban yang
berlandaskan wahyu Ilahi. Revolusi nilai yang dibawa melalui hijrah
mencerminkan keberanian untuk melepaskan kenyamanan lama, mengorbankan kepentingan
pribadi demi misi kemanusiaan yang lebih besar, serta komitmen terhadap
perubahan jangka panjang yang berlandaskan nilai-nilai tauhid dan akhlakul
karimah.[2]
Oleh sebab itu, peristiwa hijrah bukan hanya relevan secara historis, tetapi
juga memiliki makna edukatif yang dapat dijadikan sebagai landasan pembentukan
karakter generasi masa kini. Dalam konteks pedagogis, hijrah mengajarkan
pentingnya visi jangka panjang dalam membangun masyarakat, kesadaran kritis
terhadap kondisi sosial, serta keberanian untuk melakukan transformasi menuju
kondisi yang lebih baik secara berkelanjutan. Dalam perspektif sejarah, hijrah
adalah simbol dari transformasi sosial, spiritual, dan intelektual yang
mengubah wajah umat Islam secara keseluruhan.[3]
Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah menyebutkan bahwa hijrah
menjadi titik balik bagi umat Islam dalam membangun masyarakat yang
berlandaskan tauhid, keadilan, dan ukhuwah.
Aspek Pedagogis dalam Tahun Baru
Islam
1. Nilai Transformasi Diri
Dalam pedagogi Islam, pendidikan tidak hanya sebatas transfer ilmu, melainkan juga transformasi kepribadian. Tahun baru Islam mengajarkan pentingnya muhasabah (introspeksi) atas perbuatan di tahun sebelumnya dan niat untuk memperbaiki diri ke depan. Hal ini sesuai dengan prinsip dalam ta’dib (pendidikan moral) yang dikemukakan oleh Al-Attas, yaitu bahwa pendidikan adalah proses penyempurnaan manusia baik secara spiritual maupun intelektual. Dalam konteks ini Rasulullah SAW bersabda:
من كان يومه خيرا من امسه فهو رابح. ومن كان يومه مثل
امسه فهو مغبون. ومن كان يومه شرا من امسه فهو ملعون
( رواه الحاكم)
Artinya: "Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin,
dialah tergolong orang yang beruntung, (dan) barang siapa yang hari ini sama
dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan bahkan, barang siapa
yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang
celaka." (HR Al Hakim).
(dalam al-Mustadrak, hadis ini meskipun sanadnya diperselisihkan, namun maknanya sangat kuat dan sering digunakan dalam konteks motivasi perbaikan diri).
Hadis ini merupakan seruan moral dan spiritual yang sangat kuat untuk selalu melakukan perbaikan diri secara terus-menerus dari hari ke hari. Dalam ajaran Islam, kehidupan seorang mukmin idealnya selalu berada dalam kondisi naik (tarqqī), bukan stagnan (tsubūt), apalagi menurun (inhithāṭ).
2. Menanamkan Keteladanan Nabi
Momentum 1 Muharram sangat strategis
untuk mengintegrasikan kisah hijrah Nabi ke dalam pembelajaran sebagai bentuk
internalisasi nilai.[4]
Keteladanan Nabi dalam menghadapi tekanan, menyusun strategi hijrah, dan
membangun masyarakat madani dapat diadaptasi ke dalam model pembelajaran
berbasis keteladanan (modeling). Hal ini didukung oleh pandangan Paulo
Freire tentang pentingnya pendidikan yang kontekstual dan reflektif terhadap
realitas sosial peserta didik.
3. Pendidikan Kontekstual dan
Spiritual
Tahun baru Islam menjadi momen yang
ideal untuk menghidupkan pendidikan kontekstual berbasis keagamaan, terutama
dalam mengembangkan ranah afektif peserta didik. Melalui kegiatan seperti
pengajian, lomba keislaman, dan diskusi hikmah hijrah, peserta didik dilatih
untuk berpikir kritis dan spiritual sekaligus. Hal ini sejalan dengan
pendekatan pedagogi integral yang menggabungkan aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
4. Pembentukan Karakter Islami
Nilai-nilai yang terkandung dalam
hijrah seperti keberanian, kejujuran, tanggung jawab, dan pengorbanan adalah
pilar dalam pendidikan karakter Islami.[5]
Tahun baru Hijriah dapat menjadi momentum pembelajaran tematik integratif, di
mana nilai-nilai ini ditekankan melalui kurikulum lintas mata pelajaran seperti
PAI, Bahasa Indonesia (dalam penulisan narasi hijrah), dan IPS (dalam konteks
sejarah kebudayaan Islam).
Relevansi dengan Kurikulum Merdeka
Dalam konteks pendidikan Indonesia
saat ini, Kurikulum Merdeka mendorong pembelajaran yang berorientasi pada
profil Pelajar Pancasila. Nilai-nilai hijrah seperti mandiri, bernalar kritis,
dan beriman bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sejalan dengan karakter yang
ingin dibentuk melalui kurikulum tersebut. Tahun baru Islam dapat menjadi tema projek
penguatan profil pelajar Pancasila (P5) berbasis nilai keislaman yang
kontekstual dan transformatif.
[1] A
Moh Suryadinata, “METODE KHUSUS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM” (Ruang Karya Bersama,
2025).
[2] Galih
Ikariyana Puri and Raisa Elva Venera, ARAB
HADRAMI NUSANTARA (PENERBIT KBM INDONESIA, 2025).
[3] Busthomi
Ibrohim, “Memaknai Momentum Hijrah,” Studia
Didaktika: Jurnal Ilmiah Bidang Pendidikan 10, no. 02 (2016): 65–74.
[4] Aminah
Bahasoan and Asep Asep, “Penguatan Karakter Insani Dan Ukhuwah Islamiyyah
Melalui Peringatan Maulid Nabi Berbasis Rumah Di Desa Larike,” ARDHI: Jurnal Pengabdian Dalam Negri 3,
no. 3 (2025): 70–80.
[5] Suryadinata,
“METODE KHUSUS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM.”
Posting Komentar