Memaknai Qurban: Menyembelih Rasa Iri, Dengki, Ego, dan Berbagi Kebahagiaan


 Memaknai Qurban: Menyembelih Rasa Iri, Dengki, Ego, dan Berbagi Kebahagiaan
Oleh: Fuad Munawar, S.Pd., M.Pd.

Hari Raya Idul Adha bukan sekadar momentum penyembelihan hewan qurban, tetapi itu  adalah simbol pengorbanan, ketundukan, dan pembuktian cinta kepada Allah SWT. Di balik darah yang tertumpah dan daging yang terbagi, terdapat pelajaran mendalam yang menyentuh aspek batin manusia: perjuangan melawan hawa nafsu, menyembelih rasa iri, dengki, ego, dan menebar kebahagiaan kepada sesama.

Kata "qurban" berasal dari bahasa Arab qaruba yaqrubu  qurbanan yang berarti mendekati atau hampir dekat. Maka, sejatinya qurban adalah usaha manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui bentuk ketaatan yang paling tulus, yaitu pengorbanan. Namun, qurban bukan hanya tentang hewan yang disembelih, tetapi hal tersebut merupakan simbol penyembelihan nafsu duniawi yang selama ini menjadi penghalang antara manusia dan Tuhannya, serta antara manusia dan sesamanya.

Iri hati dan dengki adalah penyakit hati yang sering kali tidak tampak, tetapi sangat merusak. Ketika melihat orang lain bahagia, hati terasa sempit. Ketika orang lain berhasil, muncul rasa tidak senang. Maka Idul Adha mengajarkan kita untuk menyembelih rasa iri dan dengki, sebagaimana Nabi Ibrahim menyembelih rasa cintanya kepada anaknya demi ketaatan kepada Allah.

Ego merupakan dinding tebal yang memisahkan kita dari kerendahan hati, dimana Ego membuat kita merasa paling benar, paling tahu, paling hebat. Padahal, hakikat manusia adalah makhluk yang lemah, tempatnya salah dan lupa.

Idul Adha mengajarkan kita untuk menyembelih ego seperti Nabi Ismail yang dengan rendah hati berkata, dalam Firman-Nya Q.S Ash-Shaffat: 102:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”

Jika seorang anak rela menyerahkan nyawanya demi ketaatan, mengapa kita begitu sulit untuk merendahkan ego demi kebaikan bersama?

Salah satu hikmah terbesar dari qurban adalah berbagi. Daging hewan qurban dibagikan, tidak hanya kepada keluarga, tetapi juga kepada tetangga, kaum dhuafa, dan orang-orang yang membutuhkan. Ini bukan sekadar pembagian makanan, melainkan pembagian kebahagiaan. Qurban membangun jembatan kemanusiaan: antara si kaya dan si miskin, antara yang mampu dan yang membutuhkan. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan pada seberapa banyak yang kita miliki, tetapi pada seberapa besar yang kita bagi.

Memaknai qurban bukan sekadar dengan menyaksikan penyembelihan hewan, tetapi menyelami nilai-nilai spiritual dan sosial di baliknya. Setiap tetesan darah adalah simbol penyucian diri. Setiap irisan daging yang dibagi adalah ungkapan cinta dan kepedulian.

Mari jadikan Idul Adha ini sebagai momentum menyembelih rasa iri, dengki, dan ego. Mari berbagi, bukan hanya daging, tetapi juga senyum, perhatian, dan doa. Sebab di situlah makna sejati dari qurban: mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhkan diri dari penyakit hati, serta mendekatkan diri kepada sesama dengan cinta dan kepedulian.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak