Hari Raya Idul Adha bukan sekadar momentum penyembelihan hewan qurban, tetapi itu adalah simbol pengorbanan, ketundukan, dan pembuktian cinta kepada Allah SWT. Di balik darah yang tertumpah dan daging yang terbagi, terdapat pelajaran mendalam yang menyentuh aspek batin manusia: perjuangan melawan hawa nafsu, menyembelih rasa iri, dengki, ego, dan menebar kebahagiaan kepada sesama.
Kata "qurban" berasal dari bahasa Arab qaruba – yaqrubu – qurbanan yang berarti mendekati atau hampir dekat.
Maka, sejatinya qurban adalah usaha manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah
melalui bentuk ketaatan yang paling tulus, yaitu pengorbanan. Namun, qurban bukan hanya tentang
hewan yang disembelih, tetapi hal tersebut
merupakan simbol
penyembelihan nafsu duniawi yang selama ini menjadi penghalang antara manusia
dan Tuhannya, serta antara manusia dan sesamanya.
Iri hati dan dengki adalah penyakit hati yang sering
kali tidak tampak, tetapi sangat merusak. Ketika melihat orang lain bahagia,
hati terasa sempit. Ketika orang lain berhasil, muncul rasa tidak senang. Maka Idul
Adha mengajarkan kita untuk menyembelih rasa iri dan dengki, sebagaimana Nabi
Ibrahim menyembelih rasa cintanya kepada anaknya demi ketaatan kepada Allah.
Ego merupakan dinding tebal yang memisahkan kita
dari kerendahan hati, dimana Ego membuat kita merasa paling benar, paling tahu,
paling hebat. Padahal, hakikat manusia adalah makhluk yang lemah, tempatnya
salah dan lupa.
Idul Adha mengajarkan kita untuk menyembelih ego
seperti Nabi Ismail yang dengan rendah hati berkata, dalam Firman-Nya Q.S
Ash-Shaffat: 102:
فَلَمَّا
بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ
اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ
سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Ketika anak itu sampai pada (umur)
ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku,
sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?”
Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah)
kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”
Jika seorang anak rela menyerahkan nyawanya demi
ketaatan, mengapa kita begitu sulit untuk merendahkan ego demi kebaikan
bersama?
Salah satu hikmah terbesar dari qurban adalah berbagi.
Daging hewan qurban dibagikan, tidak hanya kepada keluarga, tetapi juga kepada
tetangga, kaum dhuafa, dan orang-orang yang membutuhkan. Ini bukan sekadar
pembagian makanan, melainkan pembagian kebahagiaan. Qurban membangun jembatan
kemanusiaan: antara si kaya dan si miskin, antara yang mampu dan yang
membutuhkan. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan pada seberapa banyak
yang kita miliki, tetapi pada seberapa besar yang kita bagi.
Memaknai qurban bukan sekadar dengan menyaksikan
penyembelihan hewan, tetapi menyelami nilai-nilai spiritual dan sosial di baliknya.
Setiap tetesan darah adalah simbol penyucian diri. Setiap irisan daging yang
dibagi adalah ungkapan cinta dan kepedulian.
Mari jadikan Idul Adha ini sebagai momentum menyembelih rasa iri, dengki, dan ego. Mari berbagi, bukan hanya daging, tetapi juga senyum, perhatian, dan doa. Sebab di situlah makna sejati dari qurban: mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhkan diri dari penyakit hati, serta mendekatkan diri kepada sesama dengan cinta dan kepedulian.