Tak terucap, Tak terlupakan

Bagas menatap layar ponselnya yang penuh notifikasi dari aplikasi kerja, pesan-pesan dari bosnya, dan satu notifikasi yang membuat dadanya terasa sesak dari Alya, pacarnya. Dia mengusap wajahnya yang lelah, rasanya sudah berhari-hari tidak menyentuh telepon hanya untuk menanyakan kabar atau sekadar bercanda dengan Alya, perempuan yang sudah dua tahun mengisi hidupnya.

"Alya pasti marah lagi," pikirnya dengan wajah kusut. Ia tahu, sejak seminggu terakhir, hubungannya dengan Alya sedikit renggang. Bukan karena ia menghindari Alya, tapi karena tumpukan pekerjaan yang seperti tak ada habisnya.

Di sisi lain, Alya duduk di kamarnya, memandangi layar ponsel yang tak kunjung menyala. Tangannya menggenggam ponsel erat, menunggu pesan dari Bagas yang tak juga muncul. Sesekali ia melihat jam, berharap mungkin Bagas akan menelepon meski hanya sebentar.


"Apa aku sudah tidak penting lagi untuknya?" gumamnya dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa dia tak pernah mengabari? Apa dia sudah tidak peduli?"

Rasa curiga dan kecewa mulai merayapi hati Alya. Dulu, Bagas selalu menyempatkan waktu, entah berapa pun sibuknya. Tapi sekarang, seolah-olah Bagas lebih memilih tenggelam dalam pekerjaannya daripada memberi kabar. Satu pikiran yang semakin menguat adalah: mungkinkah Bagas sudah menemukan seseorang yang baru?

***

Bagas menelusuri jalan menuju apartemennya. Kelelahan tampak jelas di wajahnya, namun pikiran tentang Alya terus menghantuinya. Ia tahu ia salah. Tapi, bukan karena cintanya memudar atau ia tak lagi peduli. Hanya saja, pekerjaan di kantor semakin menggila belakangan ini, dan tubuhnya terforsir habis-habisan. Setelah bertemu klien, mengurus laporan, dan menghadiri rapat maraton, tenaganya seolah hilang setiap malam.


Sampai di apartemen, ia duduk di sofa dan menarik napas panjang. "Aku harus menelepon Alya malam ini," tekadnya, mencoba menghapus rasa malas yang merayap. Ia membuka ponselnya, melihat pesan-pesan dari Alya yang belum sempat ia baca. Pesan terakhir membuat jantungnya berdetak kencang:

"Bagas, kenapa kamu menjauh? Kamu gak sayang lagi sama aku?"

Hati Bagas tersentak. Ia tidak pernah bermaksud membuat Alya merasa seperti itu. Baginya, Alya adalah segalanya. Bahkan, dalam benaknya, ia sudah mempersiapkan diri untuk segera melamar perempuan itu. Tapi kini, Bagas sadar ia telah lalai memberi Alya perhatian yang seharusnya.

Dengan cepat, ia menelepon Alya. Bunyi nada sambung terdengar begitu lama sebelum akhirnya suara lembut yang akrab menyapa.

"Halo?" Suara Alya terdengar pelan, namun ada jejak kekecewaan di baliknya.

"Alya... Maaf." Bagas langsung merasa tak mampu berkata lebih banyak. Permintaan maaf itu terasa ringan di bibir, namun berat di hatinya. "Aku tahu aku salah. Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk dan capek sampai aku gak sempat mengabarimu. Tapi, tolong jangan pernah berpikir kalau aku gak sayang lagi sama kamu."

Sejenak, ada keheningan di seberang sana.

"Aku... Aku cuma bingung, Gas," jawab Alya pelan. "Kamu berubah. Dulu kamu selalu kasih kabar, meski cuma sebentar. Sekarang, aku bahkan gak tahu kamu sedang apa, apakah kamu baik-baik saja. Dan aku takut... kamu sudah gak cinta lagi."

Bagas menggigit bibir, menahan diri agar tidak terisak. "Alya, aku minta maaf kalau membuatmu merasa begitu. Aku sibuk, iya. Tapi itu bukan alasan untuk membuatmu merasa diabaikan. Aku tidak pernah terpikir untuk menjauh, apalagi berpaling ke orang lain."

"Apa benar?" tanya Alya, suaranya mulai bergetar.

"Benar, Alya. Aku selalu ingin bersamamu, dan aku berjanji kita akan menikah. Aku cuma butuh waktu untuk menyelesaikan semua pekerjaan ini, supaya nanti kita bisa memulai hidup baru dengan tenang."

Alya terdiam. Hatinya sedikit lega mendengar penjelasan Bagas, tapi kekecewaan itu masih ada, meskipun tidak sebesar sebelumnya.

"Aku cuma ingin kamu tahu, aku juga berjuang untuk kita, Alya. Mungkin aku tidak selalu bisa ada di setiap detik yang kamu harapkan, tapi cintaku tidak pernah berubah."

Alya menarik napas dalam-dalam. Ada sesuatu yang hangat kembali di hatinya setelah mendengar kata-kata Bagas. "Aku mengerti, Gas. Tapi tolong, jangan biarkan aku merasa sendiri lagi."

"Aku janji, aku gak akan bikin kamu merasa begitu lagi," jawab Bagas lembut.


Malam itu, mereka berbicara panjang, menghapus jarak dan kesalahpahaman yang sempat terjalin di antara mereka. Meskipun kehidupan tidak selalu memberi kemudahan, Bagas dan Alya tahu bahwa cinta yang mereka miliki akan selalu menjadi jangkar yang menahan mereka dari badai perasaan yang datang.

***

Hari berganti, dan meski pekerjaan masih menumpuk, Bagas selalu berusaha menyempatkan diri mengirim pesan kepada Alya. Ia tahu, menjaga hubungan bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang perhatian kecil yang membuat hati tetap terikat. Dan meski perjalanan mereka menuju pelaminan masih panjang, Bagas yakin satu hal, Alya adalah wanita yang akan selalu ia jaga dan cintai, selamanya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak