Ferel memandang ke luar jendela ruang guru dengan pandangan kosong. Sebuah rasa frustrasi dan ketidakberdayaan memenuhi hatinya. Ia telah mengabdikan dirinya sebagai seorang guru di sekolah ini selama bertahun-tahun. Namun, keadaan di bawah kepemimpinan Pak Supri, kepala sekolah, semakin tidak tertahankan. Pak Supri dikenal sebagai pria yang pelit, egois, dan temperamental. Setiap hari, suasana sekolah dipenuhi dengan teriakan kemarahan, bukan hanya kepada para guru, tetapi juga kepada siswa-siswi yang tak bersalah.
Pak Supri jarang terlibat dalam kegiatan sekolah secara langsung. Semua tugas delegasi diberikan kepada para guru tanpa arah yang jelas, dan ketika ada kesalahan, ia tidak segan-segan melemparkan kesalahan itu pada mereka. Ferel, yang selalu mencoba bekerja profesional dan berdedikasi untuk murid-muridnya, merasa tidak pernah dihargai. Tak satu pun ide atau masukan diterima, apalagi diapresiasi.
Stevan, sahabat karib Ferel yang juga guru di sekolah itu, sering berbagi keprihatinan serupa. “Fer, kita di sini seperti robot. Kita cuma disuruh kerja tanpa ada kesempatan untuk berkembang. Setiap ada masalah, kita yang disalahkan, sementara Pak Supri duduk manis di ruangannya,” kata Stevan suatu hari sambil menghela napas panjang.
Ferel mengangguk, hatinya sesak. “Aku tahu, Van. Tapi, apa yang bisa kita lakukan? Setiap kali ada yang berusaha protes atau mengkritik, nasibnya selalu sama. Mereka dimarahi atau bahkan...”
Kalimat Ferel terhenti ketika Bu Sinta, seorang guru senior yang selalu ramah, masuk ke ruang guru dengan wajah tegang. “Kalian tahu? Pak Supri baru saja memecat Pak Anwar,” bisiknya dengan suara bergetar.
Ferel dan Stevan menatapnya dengan kaget. “Pak Anwar? Tapi kenapa?” tanya Stevan. Pak Anwar adalah salah satu guru yang sangat berdedikasi, dikenal dekat dengan para siswa, dan selalu berusaha menjaga harmoni di antara rekan-rekannya.
“Tidak ada yang tahu pasti. Kabarnya, Pak Supri merasa tidak cocok dengan caranya mengajar. Tapi, itu alasan yang tidak masuk akal. Semua orang tahu Pak Anwar guru yang baik,” Bu Sinta menunduk, jelas kecewa.
Kabar pemecatan Pak Anwar mengguncang seluruh sekolah. Guru-guru mulai merasa ketakutan, merasa ancaman bisa datang kepada siapa saja. Sekolah mulai kehilangan arah, bukan hanya karena pengelolaan Pak Supri yang buruk, tetapi juga karena suasana kerja yang makin memburuk. Para siswa pun mulai merasakan perubahan. Mereka kehilangan guru-guru yang mereka hormati, dan semakin takut kepada Pak Supri.
Ferel tahu, sesuatu harus diubah. Tapi ia tak tahu caranya. Ia, Stevan, dan Bu Sinta terus bekerja dalam bayang-bayang ketidakpastian dan tekanan dari Pak Supri. Hingga suatu hari, sebuah kabar mengejutkan datang.
Pak Anwar, yang beberapa bulan sebelumnya dikeluarkan dengan tidak jelas alasannya, telah mendirikan sekolah baru. Sekolah itu didirikan tidak jauh dari lokasi sekolah mereka. Dan yang lebih mengejutkan, sekolah Pak Anwar mulai menarik perhatian banyak orang, terutama orang tua yang tidak puas dengan sistem manajemen di sekolah Pak Supri.
“Fer, kau tahu? Sekolah Pak Anwar cepat sekali berkembang! Banyak siswa yang mulai pindah ke sana. Mereka mengatakan suasananya lebih positif, guru-gurunya lebih diperhatikan, dan anak-anak merasa lebih nyaman belajar di sana,” kata Stevan suatu hari dengan antusias.
“Benarkah?” tanya Ferel takjub. Dalam hatinya, ia merasa bangga dan bahagia untuk Pak Anwar, tetapi juga ada rasa prihatin terhadap sekolah tempat ia mengajar sekarang.
Waktu berlalu, dan berita tentang kemajuan sekolah Pak Anwar terus menyebar. Sementara itu, sekolah di bawah kepemimpinan Pak Supri semakin terpuruk. Jumlah siswa berkurang drastis, banyak orang tua yang menarik anak-anak mereka. Guru-guru mulai mengundurkan diri satu per satu, tak tahan dengan manajemen yang semakin kacau. Keuangan sekolah pun mulai bermasalah, dan Pak Supri yang dulunya begitu angkuh, kini mulai kehilangan kontrol.
Suatu hari, Ferel dan Stevan dipanggil ke ruang kepala sekolah. Mereka menduga Pak Supri akan membicarakan kondisi sekolah yang semakin buruk. Dengan suara serak dan wajah penuh kekhawatiran, Pak Supri berbicara, tapi kali ini tidak lagi dengan nada tinggi atau amarah seperti biasanya.
“Saya... butuh bantuan kalian. Sekolah ini tidak bisa terus begini. Banyak yang pergi, dan saya tahu, saya mungkin... pernah membuat beberapa keputusan yang salah,” katanya dengan suara terputus-putus.
Ferel dan Stevan saling berpandangan. Di satu sisi, mereka merasa simpati. Tapi di sisi lain, mereka tahu bahwa semua ini terjadi karena ego dan sikap buruk Pak Supri selama ini.
“Saya minta kalian bantu saya menyelamatkan sekolah ini,” lanjut Pak Supri, nadanya terdengar putus asa.
Ferel menarik napas dalam-dalam. “Pak Supri, saya dan guru-guru lain sudah berusaha semampu kami selama ini. Tapi, masalahnya bukan hanya di manajemen atau keuangan sekolah. Masalah utamanya adalah bagaimana Anda memimpin. Selama ini, banyak yang merasa tidak dihargai, tidak didengar. Dan itu membuat semua orang kecewa dan putus asa.”
Pak Supri terdiam, wajahnya berubah tegang. Tapi, kali ini dia tidak membalas dengan marah-marah. Mungkin, untuk pertama kalinya, dia menyadari betapa besar dampak dari sikapnya selama ini.
“Sekarang, banyak orang tua yang lebih percaya pada sekolah Pak Anwar karena mereka melihat perbedaan nyata dalam kepemimpinan dan cara sekolah dijalankan. Kalau Anda tidak mengubah sikap, saya takut, sekolah ini tidak akan bisa bertahan,” kata Stevan dengan nada penuh keyakinan.
Pak Supri hanya menunduk, tak tahu harus berkata apa.
***
Beberapa bulan kemudian, sekolah di bawah kepemimpinan Pak Supri benar-benar berada di ujung kebangkrutan. Siswa-siswa yang tersisa hanyalah sedikit, guru-guru yang masih bertahan sudah tidak lagi memiliki semangat. Sementara itu, sekolah Pak Anwar terus berkembang pesat, menjadi salah satu sekolah favorit di daerah itu. Ferel dan Stevan, setelah menyaksikan perubahan besar itu, akhirnya memutuskan untuk pindah ke sekolah Pak Anwar. Mereka ingin mengajar di tempat di mana pendidikan dihargai dan suasana kerja mendukung pertumbuhan semua pihak.
Pak Supri, yang dulu angkuh dan tidak mau mendengar, kini tinggal bayangan dari masa lalu. Sekolah yang dulu ia pimpin dengan penuh ego dan amarah, kini hampir runtuh, ditinggalkan oleh semua yang pernah ia remehkan.
Ferel dan Stevan, meskipun telah meninggalkan sekolah lama mereka, selalu mengingat pelajaran penting dari pengalaman itu: bahwa pendidikan tidak hanya tentang ilmu, tapi juga tentang bagaimana membangun lingkungan yang positif dan mendukung untuk semua orang yang terlibat di dalamnya.