Di Balik Hujan: Kisah Tia Lasido

 Di Balik Hujan: Kisah Tia Lasido

oleh: Dini Aminarti


Suara cambukan terdengar lagi dari rumah keluarga Lasido, suara yang sudah begitu akrab di telinga tetangga sekitar, namun tak satu pun yang berani mendekat. Malam itu, di balik dinding kamar yang dingin, Tia, seorang gadis berusia enam belas tahun, hanya bisa meringis menahan sakit. Setiap pukulan yang mendarat di tubuhnya terasa seperti badai kecil yang menghancurkan sisa-sisa kekuatannya. 

"Ampuni aku, Pah... salahku apa?" Tia berbisik di sela-sela tangisnya. Suaranya hampir tak terdengar, tenggelam dalam gemuruh hujan yang semakin deras di luar sana. Namun, tak ada jawaban. Irfan Lasido, ayahnya, hanya melanjutkan aksinya, tak peduli dengan ratapan putrinya. Ia seakan sudah kehilangan kesadarannya, matanya kosong dan tubuhnya limbung, bukti dari kebiasaan malam yang terus berulang—pulang dalam keadaan mabuk setelah berjam-jam menghabiskan malam bersama teman-temannya.

Di balik rasa sakit yang dirasakannya, Tia tak pernah benar-benar tahu apa kesalahan yang membuat dirinya harus menanggung semua ini. Mungkin karena Irfan marah. Mungkin karena dia mabuk. Atau mungkin karena dunia ini tak pernah adil baginya. Namun yang jelas, Tia selalu menjadi sasaran amarah ayahnya, terutama ketika botol-botol minuman telah habis dan amarah menjadi bahan bakar tindakan kejam yang tak terbendung.


Setelah puas, Irfan pergi, meninggalkan Tia tanpa kata. Kamar itu kembali sunyi, hanya suara hujan di luar yang terdengar seperti isakan alam yang ikut menangisi nasibnya. Tia tak bergerak, tubuhnya masih gemetar, tetapi tak ada air mata yang keluar lagi. Ia sudah terlalu sering merasakan rasa sakit itu, hingga tangis pun tak lagi bermakna. Ia tahu, tak ada yang akan menghentikan ini—tidak tetangga, tidak keluarganya, bahkan tidak ibunya sendiri.

Tia, atau Dwi Setya Lasido, adalah anak pertama dari empat bersaudara. Ia satu-satunya anak perempuan di keluarga Lasido, tetapi nasibnya jauh dari apa yang diharapkan anak perempuan pada umumnya. Tidak ada kasih sayang yang hangat dari ayah dan ibunya. Tidak ada pelukan lembut yang menenangkan. Yang ada hanyalah rasa sakit, baik dari pukulan fisik maupun luka batin yang semakin dalam. Setiap kali kedua orang tuanya bertengkar, Tia selalu menjadi sasaran. Konflik mereka, terutama tentang ekonomi yang kian memburuk, seakan menjadi alasan untuk melampiaskan kemarahan mereka pada gadis tak berdaya itu.

Hujan masih turun dengan deras, seakan mencoba menyelimuti dunia luar dari tragedi yang terjadi di dalam rumah itu. Tia menggigil, bukan hanya karena dingin yang menusuk dari luar, tetapi juga dari luka yang semakin perih di tubuh dan jiwanya. Ia terbaring di lantai, mendengarkan bunyi air hujan yang menghantam genting, seolah-olah langit pun turut merasakan penderitaannya.


Tia tak pernah mengerti mengapa hidupnya begitu sulit. Ia tak pernah tahu mengapa dirinya yang harus menanggung semua ini. Tapi satu hal yang ia tahu, bahwa di balik setiap hujan, akan selalu ada hari esok. Entah bagaimana, ia masih percaya akan ada hari di mana dia tak perlu lagi hidup dalam ketakutan dan rasa sakit. Di tengah kehampaan itu, ia berdoa dalam hati, berharap suatu hari semuanya akan berubah. Hanya itulah yang tersisa untuknya—harapan, meskipun rapuh dan hampir hancur seperti dirinya.

Di luar, hujan masih deras. Tia memejamkan mata, membiarkan suara hujan menjadi satu-satunya yang menemaninya malam itu. Dalam diam, ia menunggu pagi, meskipun ia tahu pagi tak akan membawa banyak perubahan. Tapi, seperti hujan yang akhirnya akan berhenti, ia percaya bahwa suatu hari rasa sakitnya juga akan berlalu.


Selesai

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak