Tan Malaka: Intelektual Revolusioner dan Bapak Republik yang Terlupakan


Tan Malaka adalah salah satu tokoh paling kontroversial sekaligus visioner dalam sejarah Indonesia. Ia bukan hanya seorang aktivis politik, melainkan juga seorang guru, penulis, pemikir filsafat, dan pejuang kemerdekaan. Meskipun namanya sempat tenggelam dari narasi resmi bangsa, warisan gagasan dan perjuangannya tetap hidup hingga kini.

Awal Kehidupan

Tan Malaka lahir dengan nama Sutan Ibrahim yang kemudian dikenal dengan gelar Datuk Tan Malaka pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Ia berasal dari keluarga Minangkabau yang taat pada tradisi adat sekaligus terbuka terhadap pendidikan modern. Sebagai anak Minang, ia hidup dalam sistem matrilineal, tetapi sejak kecil sudah menunjukkan kecerdasan, daya ingat kuat, dan rasa ingin tahu yang tinggi, sehingga memperoleh perhatian khusus dari keluarganya. Berbeda dengan banyak anak sezamannya yang hanya menempuh pendidikan dasar tradisional, Ibrahim berhasil masuk Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sebuah sekolah dasar berbahasa Belanda yang hanya bisa diakses oleh anak-anak pribumi terpilih. Setelah lulus, ia melanjutkan ke Kweekschool (Sekolah Guru) di Bukittinggi, tempat ia memperdalam ilmu keguruan dan mulai menunjukkan bakat sebagai pendidik.

Kecerdasannya membuat Ibrahim memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi ke Belanda pada tahun 1913. Di negeri penjajah itu, ia masuk ke Rijkskweekschool (Sekolah Guru Negeri) di Haarlem, sebuah lembaga pendidikan bergengsi yang melahirkan banyak guru profesional. Kehidupannya di Belanda membawanya berinteraksi dengan berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa Eropa, buruh migran, hingga aktivis politik. Ia banyak membaca karya-karya pemikir besar Eropa, termasuk Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Selain itu, ia juga bersentuhan langsung dengan gerakan buruh internasional yang pada masa itu sedang gencar memperjuangkan hak-hak pekerja di tengah industrialisasi Eropa.

Pengalaman akademik dan pergaulan internasional ini membentuk watak kritis Ibrahim muda. Dari seorang calon guru biasa, ia berubah menjadi seorang intelektual yang meyakini bahwa penindasan kolonialisme harus dilawan dengan kesadaran politik rakyat. Inilah yang kemudian melandasi transformasinya menjadi Tan Malaka, seorang tokoh revolusioner yang tidak hanya berjuang di Indonesia, tetapi juga aktif dalam jaringan internasional anti-imperialisme.

Menjadi Guru dan Aktivis

Sekembali ke tanah air, Tan Malaka mengajar di Deli dan kemudian bergabung dengan Sarekat Islam Semarang. Di sana ia mendirikan sekolah rakyat yang dikenal dengan nama Sekolah Tan Malaka, tempat ia menanamkan kesadaran politik sekaligus kedisiplinan kepada kaum buruh dan anak-anak kecil. Peran sebagai pendidik ini kelak membentuk identitasnya sebagai seorang revolusioner yang selalu menekankan pentingnya pendidikan bagi rakyat.

Pada 1922, Belanda menangkapnya dan mengasingkan Tan Malaka ke luar negeri. Sejak saat itu ia hidup berpindah-pindah—mulai dari Belanda, Moskow, Kanton, Manila, Bangkok, hingga Shanghai. Di masa pengasingan ini, ia menulis karya penting berjudul “Naar de Republiek Indonesia” (Menuju Republik Indonesia, 1925). Dalam tulisan itu ia menegaskan bahwa kemerdekaan penuh hanya bisa dicapai melalui republik yang dipimpin rakyat, bukan dominion atau otonomi terbatas di bawah Belanda.

Menulis MADILOG

Ketika Jepang menduduki Indonesia (1942), Tan Malaka kembali secara sembunyi ke Batavia. Di Rawajati, ia menulis karya monumentalnya: “MADILOG” (Materialisme, Dialektika, Logika). Buku ini bukan sekadar teks politik, melainkan panduan berpikir rasional dan ilmiah bagi bangsa Indonesia. Ia menolak cara berpikir mistik yang dianggap menghambat kemajuan, dan mendorong rakyat untuk membangun peradaban dengan logika serta ilmu pengetahuan.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Tan Malaka tampil sebagai tokoh oposisi yang menolak kompromi dengan Belanda. Ia memimpin Persatuan Perdjuangan (PP), sebuah koalisi besar yang menuntut “kemerdekaan 100%.” Bahkan, pada 1946 sempat ada wacana ia akan membentuk kabinet. Namun, perbedaan tajam dengan elite politik lain membuatnya ditangkap oleh pemerintah Republik dan dipenjara selama hampir dua tahun.

Di dalam penjara, Tan Malaka tetap produktif. Ia menulis otobiografi “Dari Pendjara ke Pendjara” serta menyusun “GERPOLEK” (Gerilya-Politik-Ekonomi, 1948), buku strategi revolusi yang memadukan perjuangan bersenjata, politik, dan ekonomi rakyat.

Akhir Tragis di Kediri

Tahun 1948–1949 menjadi fase terakhir hidupnya. Setelah keluar dari penjara, ia kembali terjun ke medan gerilya di Jawa Timur. Namun pada 21 Februari 1949, Tan Malaka ditangkap oleh tentara Republik sendiri. Tanpa proses pengadilan, ia dieksekusi di Selopanggung, Kediri. Ironisnya, tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan penuh justru tewas di tangan bangsanya sendiri.

Dua belas tahun setelah kematiannya, pemerintah akhirnya memberikan pengakuan resmi. Melalui Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1963, Tan Malaka dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia. Namun, pada masa Orde Baru, namanya kembali dilupakan karena dianggap berafiliasi dengan komunisme. Baru setelah Reformasi, warisan intelektualnya kembali dipelajari dan diapresiasi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak