Rebo Wekasan: Sejarah, Amalan, dan Pandangan Islam dalam Bingkai Tauhid


 Apa Itu Rebo Wekasan?

Rebo Wekasan adalah sebutan untuk hari Rabu terakhir di bulan Safar dalam kalender Hijriyah. Sebagian masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura meyakini hari tersebut rawan musibah. Keyakinan ini bukan muncul begitu saja, melainkan disebut dalam karya ulama tasawuf klasik seperti:

  • Syekh Ahmad bin Umar ad-Dairabi dalam Mujarrabat ad-Dairabi,
  • Syekh Abdul Hamid Quds dalam Kanzun Najah was-Surur,
  • serta diperkuat dengan tradisi lisan ulama pesantren di Nusantara.

Riwayat tersebut menjelaskan bahwa pada hari Rabu terakhir bulan Safar, Allah menurunkan 320.000 musibah ke bumi. Namun, perlu dicatat bahwa tidak ada dalil shahih yang menetapkan keyakinan ini secara pasti.

Rasulullah ﷺ bahkan menegaskan dalam hadits sahih:

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ

Artinya, “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan Safar. Menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa.” (HR al-Bukhari)

(Badruddin ‘Aini, ‘Umdâtul Qâri Syarhu Shahîhil Bukhâri, [Beirut, Dârul Kutub: 2006], juz IX, halaman 409).

Hadits ini menjadi pegangan bahwa tidak ada waktu tertentu yang membawa kesialan. Segala musibah maupun keselamatan hanya berada dalam kehendak Allah SWT.

 

Amalan yang Disarankan Saat Rebo Wekasan

Walau tidak memiliki dasar syariat khusus, sejumlah ulama menyarankan amalan sunnah untuk memperbanyak doa perlindungan. Di antaranya:

  1. Shalat Sunnah Mutlak
    Disebut dalam Kanzun Najah karya Syekh Abdul Hamid Quds. Dilaksanakan 4 rakaat dengan niat sunnah mutlak. Setiap rakaat membaca:
    • Al-Fatihah
    • Surat Al-Kautsar (17 kali)
    • Surat Al-Ikhlas (5 kali)
    • Surat Al-Falaq (1 kali)
    • Surat An-Nas (1 kali)

Setelah itu membaca doa khusus agar dijauhkan dari bala.

  1. Wirid dan Dzikir Perlindungan
    Di beberapa pesantren, dianjurkan menulis “tujuh ayat Salamun” (QS. Yasin:58, QS. Ash-Shaffat:79, 109, 120, 130; QS. Az-Zumar:73; QS. Al-Qadr:5) sebagaimana diajarkan dalam Mujarrabat ad-Dairabi. Tulisan tersebut dilarutkan dalam air lalu diminum sebagai ikhtiar perlindungan dengan niat tawakkal kepada Allah.
  2. Sedekah dan Silaturahmi
    Ulama Nusantara lebih menekankan pada amalan sosial: bersedekah, menyantuni fakir miskin, dan memperkuat silaturahmi sebagai bentuk nyata menolak bala, sebagaimana dianjurkan oleh banyak ulama pesantren.

 

Pandangan Ulama Tentang Rebo Wekasan

Dalam masalah hukum, ulama berbeda pendapat:

  • KH Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah menilai shalat dengan niat khusus “shalat Rebo Wekasan” tidak boleh, karena ibadah tidak boleh ditentukan oleh tradisi tanpa dalil syariat.
  • Syekh Abdul Hamid Quds dalam Kanzun Najah membolehkan, asalkan diniatkan sebagai shalat sunnah mutlak, bukan ibadah khusus dengan waktu tertentu.

Dengan kata lain, praktik Rebo Wekasan sah-sah saja jika dipahami sebagai amalan sunnah mutlak dan doa perlindungan, tetapi terlarang jika diyakini secara mistis sebagai hari yang pasti membawa sial.

 

Rebo Wekasan dalam Bingkai Tauhid

Dari perspektif tauhid, ada tiga prinsip penting yang perlu ditegaskan:

  1. Allah-lah Penentu Segala Musibah dan Keselamatan
    Tradisi ini jangan dipahami sebagai “hari sial”, karena semua kejadian baik dan buruk murni atas izin Allah. 
 مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِۗ وَمَنْ يُّؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ يَهْدِ قَلْبَهٗۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ۝
(QS. At-Taghabun:11).
  1. Ibadah Harus Tulus kepada Allah
    Shalat, doa, dan sedekah pada Rebo Wekasan bernilai ibadah hanya jika diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk sekadar “menghindari kesialan”.
  2. Menolak Takhayul dan Bid’ah
    Tradisi boleh dilestarikan selama tidak melenceng dari tauhid. Keyakinan bahwa waktu tertentu membawa sial harus ditinggalkan, sebab itu bagian dari syirik kecil.

 

Referensi:

  • Mujarrabat ad-Dairabi – Syekh Ahmad bin Umar ad-Dairabi.
  • Kanzun Najah was-Surur – Syekh Abdul Hamid Quds.
  • Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah – KH M. Hasyim Asy’ari.
  • HR. Bukhari-Muslim tentang tiadanya kesialan dalam bulan Safar.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak