Setiap tanggal 17 Agustus,
bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaannya dengan semarak. Bendera merah
putih dikibarkan di setiap sudut negeri, lagu-lagu perjuangan kembali
berkumandang, dan semangat nasionalisme seolah kembali membara. Namun, di balik
gemerlap perayaan itu, tak sedikit rakyat yang mempertanyakan: Apakah kita
benar-benar telah merdeka?
Pertanyaan ini mencuat bukan
tanpa alasan. Dalam beberapa waktu terakhir, publik dihadapkan pada berbagai
kebijakan pemerintah yang justru menimbulkan kekecewaan di tengah masyarakat.
Kebijakan-kebijakan tersebut, menurut sebagian pihak, tidak mencerminkan
semangat keberpihakan kepada rakyat yang sejatinya adalah ruh dari kemerdekaan
itu sendiri.
Kemerdekaan: Lebih dari Sekadar Simbolik
Kemerdekaan bukan hanya tentang lepasnya bangsa ini dari penjajahan fisik oleh bangsa asing. Lebih dari itu, kemerdekaan adalah jaminan atas hak-hak dasar warga negara: kebebasan bersuara, keadilan hukum, kesejahteraan sosial, pendidikan yang layak, serta ruang hidup yang aman dan bermartabat. Namun, ketika suara rakyat tidak didengar, ketika aspirasi publik ditekan, ketika kebijakan justru lebih berpihak kepada elite daripada kepada yang lemah, maka makna kemerdekaan pun menjadi kabur. Masyarakat pun bertanya: untuk siapa negara ini dibangun? Untuk siapa kebijakan ini dibuat?
Kekecewaan: Wujud Cinta yang Terluka
Kekecewaan rakyat terhadap berbagai keputusan pemerintah baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, lingkungan, hingga ketenagakerjaan yang merupakan bentuk civic concern atau kepedulian warga terhadap arah bangsa. Dalam demokrasi yang sehat, suara-suara ini bukan untuk dimusuhi, tetapi justru didengarkan sebagai bahan evaluasi dan koreksi. Sebagaimana cinta yang terluka, rakyat bersuara karena mereka peduli. Karena mereka ingin negara ini tetap berada di jalur yang benar: berpihak pada keadilan, kemanusiaan, dan kesejahteraan bersama. Jika suara ini diabaikan, maka luka itu bisa menjelma menjadi ketidakpercayaan, bahkan apatisme terhadap proses demokrasi.
Momentum Hari Kemerdekaan sejatinya bukan hanya ajang selebrasi, tetapi juga momen refleksi. Pemerintah perlu merenungkan kembali apakah kebijakan-kebijakan yang diambil selama ini sudah mencerminkan semangat “merdeka” yang diperjuangkan para pahlawan: yakni kebebasan dari penindasan, penghisapan, dan ketidakadilan. Di sisi lain, rakyat pun perlu terus mengawal jalannya demokrasi dengan cara yang bijak dan bertanggung jawab: menyampaikan aspirasi secara damai, aktif dalam partisipasi politik, serta terus menjaga api nasionalisme yang kritis dan konstruktif.
Kemerdekaan Indonesia bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan yang berdarah-darah. Maka tanggung jawab untuk menjaga dan memaknainya tidak hanya ada di tangan pemerintah, tapi juga di pundak seluruh rakyat Indonesia. Kita perlu kembali pada cita-cita awal bangsa ini: negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, yang memajukan kesejahteraan umum, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika semangat itu yang menjadi dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan, maka kemerdekaan bukan lagi sekadar seremoni, melainkan kenyataan yang benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat, dari Sabang hingga Merauke.